Hidup Mulia Atau Mati Syahid slogan yang sering digembor2kan saudara2 kita kaum muslimin yg aktif di pergerakan. Slogan yg terdengar begitu indah dan memang demikianlah seharusnya jika ingin menjadi seorang muslim yg ideal. Namun perlu diketahui bahwasanya kemuliaan bagi seorang muslim tergantung pada tingkat ketaqwaannya bukan selainnya, sebagaimana firman Allah تعالى :
Sesungguhnya yg paling mulia dari kalian di sisi Allah adalah yg paling bertaqwa.(Al Hujurat 13)
Berkata Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله dalam kitab tafsirnya: Kemuliaan di sisi Allah تعالى diperoleh dengan ketaqwaan bukan dengan kedudukan nasab sebagaimana hadits tentang hal tersebut dalam Shahih Bukhari:
سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الناس أكرم؟ قال: أكرمهم عند الله أتقاهم
Rasulullah صلى الله عليه وسلم ditanya, manusia manakah yg paling mulia? Beliau menjawab: "Yg paling mulia di antara mereka di sisi Allah adalah yg paling bertaqwa"
Beliau صلى الله عليه وسلم juga bersabda:
Sesunguhnya Allah tidak memandang kepada penampilan dan harta kalian namun Dia memandang kepada hati dan amal kalian.(Shahih Muslim 2564)
Dan diriwayatkan oleh Imam Abul Qosim Ath Thabarani رحمه الله :
Orang-orang Islam itu bersaudara, tiada keutamaan antara satu dengan yg lain kecuali dengan ketaqwaan.
Dari sini kita fahami bahwasanya terdapat keselarasan antara Al Qur'an dengan Hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم yg menyatakan bahwasanya kemuliaan bagi seorang muslim tergantung pada derajat ketaqwaan yg tercermin pada keimanan dan amal shalih bukan dengan selainnya. Sehingga tidak layak seorangpun –meski tinggi kedudukannya- menyelisihi hal tersebut sebagaimana Allah عز وجل berfirman:
Dan tidakah layak bagi seorang yg beriman baik laki-laki maupun perempuan jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara maka ada bagi mereka pilihan yg lain. Dan barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia telah sesat dengan dengan kesesatan yg nyalta.(Al Ahzab 36)
Para ulama رحمهم الله telah mejelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar-Raghib Al-Asfahani mendenifisikan : “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan” [Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, hal 531]
Sedangkan Imam An-Nawawi mendenifisikan taqwa dengan “Menta’ati perintah dan laranganNya”. Maksudnya menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala [Tahrirul Fazhilit Tanbih, hal 322]. Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “ Taqwa yaitu menjaga diri dari siksa Allah dengan menta’ati-Nya. Yakni menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya” [Kitabut Ta’rifat, hl.68]*
Keterangan para ulama di atas sesuai dengan firman Allah تعالى dalam suatu ayat yg amat masyhur :
Wahai orang-orang yg beriman, diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian agar kalian bertaqwa.(Al Baqarah 183)
Dari ayat tersebut dapat difahami bahwasanya salah satu jenis amal shalih, yakni puasa, menjadi sebab bagi seorang mu'min untuk mencapai derajat ketaqwaan. Berkata Al Imam Ibnul Jauzi رحمه الله dalam tafsir beliau:
"Puasa itu mengantarkan kepada ketaqwaan karena ia menahan jiwa dari kebanyakan hal yg dapat mendorong kepada perbuatan maksiat"
Namun sangat disayangkan, kalimat di atas tidak di fahami pada tempatnya, sebagaimana saudara-saudara kita telah telah sampai pada derajat meremehkan amal-amal shalih yg menjadi pokok ajaran Islam seperti shalat, puasa, zakat dan haji –meskipun mereka mengamalkannya-. Mereka menganggap hal tersebut tidak dapat membuat seorang Muslim menjadi mulia kedudukannya namun menganggapnya hanya sebagai "Ritual keagamaan yg tidak jauh berbeda dengan ritual keagamaan orang-orang Nashrani atau selainnya dari golongan kafirin" –kita berlindung kepada Allah عز وجل dari kalimat yg amat buruk seperti ini-; menurut mereka kaum kemuliaan kaum Muslimin didapat dengan menguasai sekian bagian dunia selama sekian abad(!?) Padahal amal shalih tersebutlah yg menjadi tolok ukur ketaqwaan seseorang dan derajat ketaqwaanlah yg menentukan mulia atau tidaknya kedudukan seseorang itu di hadapan Allah عز وجل. Sehingga patut kita tanyakan kepada saudara-saudara kita yg berkata seperti itu tadi: "Kemuliaan apakah yg engkau maukan? Apakah kemuliaan di hadapan Allah عز وجل atau kemuliaan di hadapan manusia!?"
Amal-amal shalih tersebut yg langsung diperintahkan bahkan diwajibkan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam Firman-Nya
Sesungguhnya yg paling mulia dari kalian di sisi Allah adalah yg paling bertaqwa.(Al Hujurat 13)
Berkata Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله dalam kitab tafsirnya: Kemuliaan di sisi Allah تعالى diperoleh dengan ketaqwaan bukan dengan kedudukan nasab sebagaimana hadits tentang hal tersebut dalam Shahih Bukhari:
سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الناس أكرم؟ قال: أكرمهم عند الله أتقاهم
Rasulullah صلى الله عليه وسلم ditanya, manusia manakah yg paling mulia? Beliau menjawab: "Yg paling mulia di antara mereka di sisi Allah adalah yg paling bertaqwa"
Beliau صلى الله عليه وسلم juga bersabda:
Sesunguhnya Allah tidak memandang kepada penampilan dan harta kalian namun Dia memandang kepada hati dan amal kalian.(Shahih Muslim 2564)
Dan diriwayatkan oleh Imam Abul Qosim Ath Thabarani رحمه الله :
Orang-orang Islam itu bersaudara, tiada keutamaan antara satu dengan yg lain kecuali dengan ketaqwaan.
Dari sini kita fahami bahwasanya terdapat keselarasan antara Al Qur'an dengan Hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم yg menyatakan bahwasanya kemuliaan bagi seorang muslim tergantung pada derajat ketaqwaan yg tercermin pada keimanan dan amal shalih bukan dengan selainnya. Sehingga tidak layak seorangpun –meski tinggi kedudukannya- menyelisihi hal tersebut sebagaimana Allah عز وجل berfirman:
Dan tidakah layak bagi seorang yg beriman baik laki-laki maupun perempuan jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara maka ada bagi mereka pilihan yg lain. Dan barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia telah sesat dengan dengan kesesatan yg nyalta.(Al Ahzab 36)
Para ulama رحمهم الله telah mejelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar-Raghib Al-Asfahani mendenifisikan : “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan” [Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, hal 531]
Sedangkan Imam An-Nawawi mendenifisikan taqwa dengan “Menta’ati perintah dan laranganNya”. Maksudnya menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala [Tahrirul Fazhilit Tanbih, hal 322]. Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “ Taqwa yaitu menjaga diri dari siksa Allah dengan menta’ati-Nya. Yakni menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya” [Kitabut Ta’rifat, hl.68]*
Keterangan para ulama di atas sesuai dengan firman Allah تعالى dalam suatu ayat yg amat masyhur :
Wahai orang-orang yg beriman, diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian agar kalian bertaqwa.(Al Baqarah 183)
Dari ayat tersebut dapat difahami bahwasanya salah satu jenis amal shalih, yakni puasa, menjadi sebab bagi seorang mu'min untuk mencapai derajat ketaqwaan. Berkata Al Imam Ibnul Jauzi رحمه الله dalam tafsir beliau:
"Puasa itu mengantarkan kepada ketaqwaan karena ia menahan jiwa dari kebanyakan hal yg dapat mendorong kepada perbuatan maksiat"
Namun sangat disayangkan, kalimat di atas tidak di fahami pada tempatnya, sebagaimana saudara-saudara kita telah telah sampai pada derajat meremehkan amal-amal shalih yg menjadi pokok ajaran Islam seperti shalat, puasa, zakat dan haji –meskipun mereka mengamalkannya-. Mereka menganggap hal tersebut tidak dapat membuat seorang Muslim menjadi mulia kedudukannya namun menganggapnya hanya sebagai "Ritual keagamaan yg tidak jauh berbeda dengan ritual keagamaan orang-orang Nashrani atau selainnya dari golongan kafirin" –kita berlindung kepada Allah عز وجل dari kalimat yg amat buruk seperti ini-; menurut mereka kaum kemuliaan kaum Muslimin didapat dengan menguasai sekian bagian dunia selama sekian abad(!?) Padahal amal shalih tersebutlah yg menjadi tolok ukur ketaqwaan seseorang dan derajat ketaqwaanlah yg menentukan mulia atau tidaknya kedudukan seseorang itu di hadapan Allah عز وجل. Sehingga patut kita tanyakan kepada saudara-saudara kita yg berkata seperti itu tadi: "Kemuliaan apakah yg engkau maukan? Apakah kemuliaan di hadapan Allah عز وجل atau kemuliaan di hadapan manusia!?"
Amal-amal shalih tersebut yg langsung diperintahkan bahkan diwajibkan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam Firman-Nya
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yg ruku' (Al Baqarah 43)
Wajib bagi kalian berpuasa (Al Baqarah 183)
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak membutuhkan sesuatupun) dari semesta alam. (Ali 'Imran 97)
Amal-amal shalih tersebut merupakan pilar utama agama Islam sebagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
Islam dibangun di atas 5 perkara: syahadat لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله , mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah dan berpuasa Ramadhan. (Shahih Bukhari no 8, Shahih Muslim no 16)
Dengan mengaharap Wajah Allah تعالى semoga tulisan ringkas ini dapat menjadi nasehat, terutama bagi saya pribadi dan seluruh kaum muslimin agar hal ini mencegah kita dari melakukan kezhaliman yang mengatas namakan agama Islam yg mulia ini. Kezhaliman dalam memaknai kalimat 'ISY KARIIMAN tersebut, kezhaliman meremehkan amal-amal shalih yg langsung diperintahkan oleh Allah عز وجل dan Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم sebagaimana definisi zhalim adalah وضع الشيء ليس في مكانه (menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya). Oleh sebab itu mari kita perhatikan hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم berikut:
Artinya : “Tolonglah saudaramu yang dizholimi dan yang berbuat zholim, berkata seorang lelaki : ya Rasulullah, saya akan menolongnya apabila dia dizholimi, bagaimana pandanganmu apabila dia yang berbuat zholim bagaimana saya menolongnya? Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam menjawab : kamu larang dia atau kamu cegah dia dari perbuatan zholim tersebut, sesungguhnya itulah bentuk pertolongan baginya. (Shahih Bukhari 2443, 2444)
Semoga tulisan ini bermanfaat, dan mohon koreksi dari Saudara-saudara sekalian jika terdapat kesalahan. Sesungguhnya kebenaran hanya dari Allah سبحانه وتعالى .
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى أصحابه أجمعين
Solo, 22-03-2011
Oleh : Hafidz Abdurrahman (Mahasiswa Teknik Penerbangan ITB 04`)
الفقير إلى رحمة الله
+ comments + 2 comments
Pikiran kotor, lamunan, dan khayalan merupakan modal bagi orang yang bangkrut alias pailit dalam perdagangan. Kekuatan jiwa yang kosong tanpa isi, yang sudah dirasuki dengan pikiran, lamunan dan khayalan, dan tidak lagi terpaut dengan kebenaran dan kebaikan.
barakallahu fiykum akh abi rifa
Post a Comment