Home » » Taubat Dari Melarikan Harta Orang

Taubat Dari Melarikan Harta Orang

Written By Dwiki Irvan on Tuesday, December 4, 2012 | 8:34 AM

Oleh: Ustadz Muhammad Muafa   



Pertanyaan
Assalamualaikum wr wb,afwan ustad.mohon pencerahan nya atas problem yg sy hadapi ini : sebenarnya saya malu ungkapkan ini ,tapi semoga Allah meluruskan niat sy untuk tahu ilmu nya yg bisa jadikan sy taubat nasuha. Dahulu saya seorang yg dholim,baik terhadap diri,keluarga terlebih org lain,profesi saya pedagang.beberapa org sdh sy dholimi kaitan dengan uang /barang. yg bisa dikatakan menipu(ambil brg org/perusahaan tdk sy byr(lari).sekarang ini saya mengalami kejadian2 yg saya rasakan sebagai akibat perbuatan saya.berulang kali saya berusaha/dagang tapi tdk pernah menghasilkan selain utang2 yg semakin besar.dan masalah lain2.saya ingin bertaubat dengan niat untuk meminta maaf dan berniat mengembalikan hak2 org yg dulu saya dholimi.tapi saya bingung ustad.karena untuk menemui org2 tersebut memerlukan waktu ,karena jarak nya jauh dari tempat sy skrg,belum lagi biaya.sedangkan saya skrg dalam kondisi byk masalah dan hutang yg juga harus saya hadapi.belum lagi sy jg pny kewajiban urus keluarga.anak sy yg 5 org msh kecil2.apa sy tunda sampai masalah sy skrg selesai atau sy utamakan mencari org2 tsb, saya bingung ustad mohon pencerahanya ? Trimksh.semoga Allah memberi hidayah kepada saya.mohon identitas saya disembunyikan.wassalam

(Fulan, di suatu tempat)

Jawaban

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bapak yang semoga dirahmati Allah,

Bergembiralah, karena tidaklah seorang hamba berbuat dosa kemudian diberi ilham serta taufiq oleh Allah untuk bertaubat melainkan Allah masih sayang kepadanya. Ilham untuk bertaubat  bermakna Allah masih ingin menyelamatkan dan berkehendak membuat bahagia, meski harus melewati sengsara.

Sesungguhnya Allah sangat gembira melihat hambanya bertaubat, kembali kepadaNYa, bersimpuh di depanNya mengakui kesalahan, melebihi kegembiraan seorang lelaki yang kehilangan bekal di tanah sunyi dan tidak ada lagi harapan hidup, lalu tiba-tiba bekal itu ketemu kembali. Imam Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (13/ 296)

أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَهُوَ عَمُّهُ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

Anas bin Malik -dan dia adalah pamannya- dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Sungguh kegembiraan Allah karena taubatnya hamba-Nya melebihi kegembiraan salah seorang dari kalian terhadap hewan tunggangannya di sebuah padang pasir yang luas, namun tiba-tiba hewan tersebut lepas, padahal di atasnya ada makanan dan minuman hingga akhirnya dia merasa putus asa untuk menemukannya kembali. kemudian ia beristirahat di bawah pohon, namun di saat itu, tiba-tiba dia mendapatkan untanya sudah berdiri di sampingnya. Ia pun segera mengambil tali kekangnya kemudian berkata; ‘Ya Allah Engkau hambaku dan aku ini Tuhan-Mu.’ Dia telah salah berdo’a karena terlalu senang.’ (H.R.Muslim)

Lihatlah perumpamaan ini. Mari kita hayati dan rasakan. Seorang lelaki yang melakukan perjalanan sendiri  di atas hewan tunggangannya melewati tanah sunyi sambil membawa bekal, tiba-tiba tunggangannya lari, padahal tunggangan tersebut membawa bekal makanan dan minumnya. Bagaimana dia bisa hidup jika makanannya hilang?bagaimana pula dia memperoleh ganti makanan sementara dia berada di tanah sunyi tak ber penghuni  yang bisa disinggahi, tidak ada pula warung yang makanannya  bisa dibeli, tidak ada pula kawan yang bisa dihutangi. Bagaimanakah nasibnya jika kelak tunggangannya tidak ketemu?bukankah kematian sudah membayang di pelupuk matanya? Dan jika di mati, untuk apa semua harta yang ia kumpulkan selama ini?bagaimana dengan rencana-rencana bisnis yang telah disusun? Bagaimana dengan istrinya yang mungkin akan dinikahi orang lain? Siapa yang nanti akan memiliki rumahnya?bagaimana nasib  anak-anaknya? Bagaimana tabungannya? Bagaimana tanahnya?bagaimana kendaraannya? Yah..semua itu akan ditinggalkan, dan menjadi milik orang lain. Jadi, jalan satu-satunya hanyalah menemukan kembali kendaraannya yang membawa perbekalannya. Jika kendaraan itu tidak ketemu, maka tamatlah riwayatnya.

Maka diapun mulai mencari dan terus mencari. Tetapi sejauh mata memandang dan seletih tubuh yang disandang tak dapat jua dia menemukan kendaraan.  Dia tidak tahu lagi kemana harus mencari. Tidak ada tanda-tanda yang bisa dilacak, tidak pula bekas yang bisa dijejak. Di sekelilingnya hanya ada kosong dan sepi. Dia sendiri. Hampa dan putus asa.

Maka, tatakala dia merasa usaha sudah tiada berguna, upaya sudah tidak lagi memberi arti, datanglah dia menuju sebuah pohon untuk menunggu satu hal; kematian. Dia berfikir, mati sudah menjadi takdirnya yang pasti. Ketentuan yang tidak mungkin lagi dihindari. Berbaringlah dia dibawah naungan pohon itu dengan memejamkan mata sambil meratapi nasib dan menunggu detik demi detik waktu yang perlahan namun pasti memotong umurnya. Cakar maut dia rasakan sudah semakin dekat mencabik-cabik nyawanya.

Di tengah keputus asaannya menunggu kematian sambil mata terpejam, tiba-tiba dia dikejutkan dengan sebuah suara. Tatkala dia membuka mata, serasa terbang jiwanya karena melihat kendaraannya telah berdiri manis disampingnya. Betapa gembiranya dia. Angan yang tadi telah pergi, sekarang kembali lagi. Harapan-harapan yang telah terbang menjauh, sekarang terkumpul pulang. Rencana-rencana yang semula ia buang, sekarang ia punguti lagi. Dada terasa mau meledak tuk mengungkapakan rasa gembira yang tak terkatakan, maka terlompatlah satu kata syukur dari mulutnya: Ya Allah, engkau adalah hambaku, dan aku adalah RobbMu.

Ya Allah, engkau adalah hambaku, dan aku adalah RobbMu!

Yah, dia keliru berucap. Seharusnya dia berkata; “Ya Allah, engkau adalah Robbku, dan aku adalah hambamuMu”, namun karena begitu gembira, maka kesleolah lidahnya sehingga berucap; Ya Allah, engkau adalah hambaku, dan aku adalah RobbMu. Kegembiraan level ini memang bukan kegembiraan biasa, sehingga wajar jika kesleo lidah semacam itu.

Sekarang marilah kita renungkan bapak,  Nabi Muhammad memberitahu kita bahwa Allah lebih gembira terhadap taubatnya hamba daripada gembiranya seorang lelaki  menemukan bekalnya lagi setelah sebelumnya nyaris mati . Tidakkah kita bersemangat mendengar kabar gembira ini? Seorang ayah yang sayang kepada anaknya dan  gembira karena anaknya peringkat  dikelas akan memberikan apa saja yang diminta sang anak karena kegembiraan tersebut. Apakah mungkin jika kita meminta apel kepada Allah yang gembira karena taubat kita lalu kita akan diberi batu?

Lanjutkanlah taubat bapak. Bersungguh sungguhlah kembali kepadaNya, pasti Dia akan mengabulkan segala pinta.

Sesungguhnya musibah dan kesusahan  yang menimpa kita, semuanya adalah akibat dosa-dosa kita sendiri. Diantara dosa-dosa yang kita tumpuk itu, hanya sedikit sekali yang diingatkan dengan hukuman kesusahan. Mayoritas dosa kita justru dimaafkan oleh Allah, hanya saja kita tidak mengetahui. Allah berfirman;

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ} [الشورى: 30]

dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (As-Syuro;30)

Memang Allah sengaja memberi peringatan dengan kesusahan kepada hamba-hamba yang berdosa agar mereka kembali dan bertaubat kepadanya. Hal ini sudah menjadi janji Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an;

{وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [السجدة: 21]

dan Sesungguhnya Aku mencicipkan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar). (As-Sajdah;21)

Kesusahan yang diberikan ini justru menjadi tanda kasih sayang, bukan kebencian. Sebab jika Allah sudah benci terhadap seorang hamba, dia akan dibiarkan terus menerus bergelimang dalam dosa dan bersenang-senang dengan manisnya  dunia.  Tabiat alami orang susah adalah sedih, menangis, lalu intropeksi diri dan akhirnya bertaubat kembali kepada Allah menempuh jalan yang benar dan berjanji menaati seluruh syariatnya. Susah lebih mudah untuk mengingat Allah, sementara bersenang-senang  justru kecil peluang untuk ingat kepada Allah. Jarang orang yang tiba-tiba mendapat harta 100 juta kemudian menangis karena khawatir amanah harta itu dan mengingat Allah. Sebaliknya jika dia tiba-tiba kehilangan harta 100 juta, maka dia akan sungguh bersedih dan mulai meraba kesalahan dirinya, dan akhirnya bertaubat kepada Allah.

Untuk bertaubat Nashuha, hal yang paling penting adalah mengembalikan semua hak orang lain yang dizalimi. Seorang muslim  yang selama di dunia menjaga shalat, puasa dan zakatnya tetapi dia menzalimi orang lain maka diakhirat dia terancam menjadi orang Muflis (bangkrut) karena pahala amalnya diberikan kepada orang yang dizalimi sebagai pembayar kezaliman. Imam Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (12/ 459)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda; Apakah kalian tahu siapa orang Muflis (bangkrut) itu? Mereka menjawab; orang bangkrut dikalangan kami adalah orang yang tidak punya Dirham (uang) dan barang (lagi). Nabi bersabda; Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku (adalah orang yang) datang pada hari Kiamat  dengan (pahala) Shalat, Puasa dan Zakat tetapi juga membawa (dosa) mencaci fulan, menuduh fulan, memakan harta fulan, menumpahkan darah fulan, dan memukul fulan. Maka fulan (yang dizalimi) itu diberi pahala kebaikannya dan fulan (yang lain) diberi pahala kebaikannya. Jika pahala kebaikannya habis sebelum tanggungannya tuntas maka (dosa-dosa) kesalahan mereka diambil lalu dibebankan kepadanya lalu dia dilemparkan ke Neraka” (H.R. Muslim)

Kita juga perlu berhati-hati dengan doa orang yang dizalimi, karena doa orang yang dizalimi itu mustajab, langsung menembus langit dan dikabulkan.

صحيح البخاري (8/ 321)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ اتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke negeri Yaman lalu bersabda: “Berhati-hatilah kamu terhadap do’anya orang yang dizhalimi karena antara do’anya dan Allah tidak ada penghalangnya” (H.R. Bukhari)

Siapa tahu kesusahan yang kita alami adalah hasil “kutukan”/doa buruk dari orang-orang yang kita zalimi? Oleh karena  itu meminta maaf kepada mereka adalah keharusan sekaligus kewajiban jika kita bertaubat sungguh-sungguh kepada Allah.

Terlebih lagi zalim dalam urusan harta. Orang mati Syahid yang  seharusnya masuk surga, bisa tertahan di pintu surga dan tidak dapat memasukinya gara-gara hutangnya. Ahmad meriwayatkan;

مسند أحمد (33/ 329)

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْفَجْرَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَاهُنَا مِنْ بَنِي فُلَانٍ أَحَدٌ مَرَّتَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ هُوَ ذَا فَكَأَنِّي أَسْمَعُ صَوْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ صَاحِبَكُمْ قَدْ حُبِسَ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ بِدَيْنٍ كَانَ عَلَيْهِ

Dari ‘Amir dari Samurah bin Jundub bahwa suatu hari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakan shalat fajar, lalu beliau bersabda: “Disinilah salah seorang keturunan bani Fulan -hingga dua kali-.” Seseorang berkata; “Seakan aku mendengar dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya saudaramu tengah tertahan di pintu surga disebabkan hutangnya.” (H.R. Ahmad)

Imam Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (9/ 468)

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ أَنَّ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلَّا الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ لِي ذَلِكَ

Dari Abu Qatadah bahwa dia mendengarnya menceritakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa suatu ketika beliau berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya jihad fi sabilillah serta iman kepada Allah, adalah amalan yang paling utama.” Maka seorang laki-laki berdiri seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya terbunuh dalam jihad fi sabilillah, apakah dosa-dosaku akan terampuni?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika kamu terbunuh di jalan Allah, sabar dan mengharap pahala, maju ke depan dan tidak lari ke belakang.” Kemudian beliau bertanya: “Apa yang kamu tanyakan tadi?” dia mengulangi pertanyaannya, “Bagaimana jika saya terbunuh dalam jihad fi sabilillah, apakah dosa-dosaku akan terampuni?” beliau menjawab: “Ya, jika kamu sabar dan mengharap pahala, maju ke depan dan tidak lari ke belakang, kecuali hutang (doa ini tidak diampuni). Begitulah Jibril mengatakannya kepadaku.” (H.R. Muslim)

Jadi, kembalikanlah harta orang lain itu bapak. Itu adalah langkah pertama taubat agar seluruh  keruwetan permasalahan bapak terurai satu demi satu. Yakinlah, Allah pasti menolong, sebab Allah sudah berjanji dalam Al-Quran bahwa siapapun yang bertakwa maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya seraya memberikan Rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, dan siapapun yang bertawakkal (pasrah/berserah diri) kepadaNya, maka Dia akan mencukupinya. Allah berfirman;

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا} [الطلاق: 2، 3]

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (At-Tholaq;2-3)

Carilah orang-orang yang bapak zalimi. Mulailah mengembalikan hak dari yang paling membutuhkan. Yakinlah Allah pasti menolong. Jangan merasa tanggungan terlalu besar lalu putus asa untuk menyelesaikan. Sesungguhnya Allah Maha Kaya, dan untuk mengubah sesuatu hal itu sangat mudah bagi Allah semudah membalik telapak tangan.

Ada seorang shahabat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang bernama  Az-Zubair bin Al-’Awwam. Beliau dikenal sebagai shahabat yang memiliki hutang yang banyak. Kisahnya ada dalam hadis berikut ini;

صحيح البخاري (10/ 377)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ

لَمَّا وَقَفَ الزُّبَيْرُ يَوْمَ الْجَمَلِ دَعَانِي فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ فَقَالَ يَا بُنَيِّ إِنَّهُ لَا يُقْتَلُ الْيَوْمَ إِلَّا ظَالِمٌ أَوْ مَظْلُومٌ وَإِنِّي لَا أُرَانِي إِلَّا سَأُقْتَلُ الْيَوْمَ مَظْلُومًا وَإِنَّ مِنْ أَكْبَرِ هَمِّي لَدَيْنِي أَفَتُرَى يُبْقِي دَيْنُنَا مِنْ مَالِنَا شَيْئًا فَقَالَ يَا بُنَيِّ بِعْ مَالَنَا فَاقْضِ دَيْنِي وَأَوْصَى بِالثُّلُثِ وَثُلُثِهِ لِبَنِيهِ يَعْنِي بَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ يَقُولُ ثُلُثُ الثُّلُثِ فَإِنْ فَضَلَ مِنْ مَالِنَا فَضْلٌ بَعْدَ قَضَاءِ الدَّيْنِ شَيْءٌ فَثُلُثُهُ لِوَلَدِكَ قَالَ هِشَامٌ وَكَانَ بَعْضُ وَلَدِ عَبْدِ اللَّهِ قَدْ وَازَى بَعْضَ بَنِي الزُّبَيْرِ خُبَيْبٌ وَعَبَّادٌ وَلَهُ يَوْمَئِذٍ تِسْعَةُ بَنِينَ وَتِسْعُ بَنَاتٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَجَعَلَ يُوصِينِي بِدَيْنِهِ وَيَقُولُ يَا بُنَيِّ إِنْ عَجَزْتَ عَنْهُ فِي شَيْءٍ فَاسْتَعِنْ عَلَيْهِ مَوْلَايَ قَالَ فَوَاللَّهِ مَا دَرَيْتُ مَا أَرَادَ حَتَّى قُلْتُ يَا أَبَةِ مَنْ مَوْلَاكَ قَالَ اللَّهُ قَالَ فَوَاللَّهِ مَا وَقَعْتُ فِي كُرْبَةٍ مِنْ دَيْنِهِ إِلَّا قُلْتُ يَا مَوْلَى الزُّبَيْرِ اقْضِ عَنْهُ دَيْنَهُ فَيَقْضِيهِ فَقُتِلَ الزُّبَيْرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَلَمْ يَدَعْ دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِلَّا أَرَضِينَ مِنْهَا الْغَابَةُ وَإِحْدَى عَشْرَةَ دَارًا بِالْمَدِينَةِ وَدَارَيْنِ بِالْبَصْرَةِ وَدَارًا بِالْكُوفَةِ وَدَارًا بِمِصْرَ قَالَ وَإِنَّمَا كَانَ دَيْنُهُ الَّذِي عَلَيْهِ أَنَّ الرَّجُلَ كَانَ يَأْتِيهِ بِالْمَالِ فَيَسْتَوْدِعُهُ إِيَّاهُ فَيَقُولُ الزُّبَيْرُ لَا وَلَكِنَّهُ سَلَفٌ فَإِنِّي أَخْشَى عَلَيْهِ الضَّيْعَةَ وَمَا وَلِيَ إِمَارَةً قَطُّ وَلَا جِبَايَةَ خَرَاجٍ وَلَا شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي غَزْوَةٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ فَحَسَبْتُ مَا عَلَيْهِ مِنْ الدَّيْنِ فَوَجَدْتُهُ أَلْفَيْ أَلْفٍ وَمِائَتَيْ أَلْفٍ قَالَ فَلَقِيَ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي كَمْ عَلَى أَخِي مِنْ الدَّيْنِ فَكَتَمَهُ فَقَالَ مِائَةُ أَلْفٍ فَقَالَ حَكِيمٌ وَاللَّهِ مَا أُرَى أَمْوَالَكُمْ تَسَعُ لِهَذِهِ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَكَ إِنْ كَانَتْ أَلْفَيْ أَلْفٍ وَمِائَتَيْ أَلْفٍ قَالَ مَا أُرَاكُمْ تُطِيقُونَ هَذَا فَإِنْ عَجَزْتُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَاسْتَعِينُوا بِي قَالَ وَكَانَ الزُّبَيْرُ اشْتَرَى الْغَابَةَ بِسَبْعِينَ وَمِائَةِ أَلْفٍ فَبَاعَهَا عَبْدُ اللَّهِ بِأَلْفِ أَلْفٍ وَسِتِّ مِائَةِ أَلْفٍ ثُمَّ قَامَ فَقَالَ مَنْ كَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ حَقٌّ فَلْيُوَافِنَا بِالْغَابَةِ فَأَتَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ وَكَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ أَرْبَعُ مِائَةِ أَلْفٍ فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ إِنْ شِئْتُمْ تَرَكْتُهَا لَكُمْ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ لَا قَالَ فَإِنْ شِئْتُمْ جَعَلْتُمُوهَا فِيمَا تُؤَخِّرُونَ إِنْ أَخَّرْتُمْ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ لَا قَالَ قَالَ فَاقْطَعُوا لِي قِطْعَةً فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ لَكَ مِنْ هَاهُنَا إِلَى هَاهُنَا قَالَ فَبَاعَ مِنْهَا فَقَضَى دَيْنَهُ فَأَوْفَاهُ وَبَقِيَ مِنْهَا أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ وَنِصْفٌ فَقَدِمَ عَلَى مُعَاوِيَةَ وَعِنْدَهُ عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ وَالْمُنْذِرُ بْنُ الزُّبَيْرِ وَابْنُ زَمْعَةَ فَقَالَ لَهُ مُعَاوِيَةُ كَمْ قُوِّمَتْ الْغَابَةُ قَالَ كُلُّ سَهْمٍ مِائَةَ أَلْفٍ قَالَ كَمْ بَقِيَ قَالَ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ وَنِصْفٌ قَالَ الْمُنْذِرُ بْنُ الزُّبَيْرِ قَدْ أَخَذْتُ سَهْمًا بِمِائَةِ أَلْفٍ قَالَ عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ قَدْ أَخَذْتُ سَهْمًا بِمِائَةِ أَلْفٍ وَقَالَ ابْنُ زَمْعَةَ قَدْ أَخَذْتُ سَهْمًا بِمِائَةِ أَلْفٍ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ كَمْ بَقِيَ فَقَالَ سَهْمٌ وَنِصْفٌ قَالَ قَدْ أَخَذْتُهُ بِخَمْسِينَ وَمِائَةِ أَلْفٍ قَالَ وَبَاعَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ نَصِيبَهُ مِنْ مُعَاوِيَةَ بِسِتِّ مِائَةِ أَلْفٍ فَلَمَّا فَرَغَ ابْنُ الزُّبَيْرِ مِنْ قَضَاءِ دَيْنِهِ قَالَ بَنُو الزُّبَيْرِ اقْسِمْ بَيْنَنَا مِيرَاثَنَا قَالَ لَا وَاللَّهِ لَا أَقْسِمُ بَيْنَكُمْ حَتَّى أُنَادِيَ بِالْمَوْسِمِ أَرْبَعَ سِنِينَ أَلَا مَنْ كَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فَلْنَقْضِهِ قَالَ فَجَعَلَ كُلَّ سَنَةٍ يُنَادِي بِالْمَوْسِمِ فَلَمَّا مَضَى أَرْبَعُ سِنِينَ قَسَمَ بَيْنَهُمْ قَالَ فَكَانَ لِلزُّبَيْرِ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ وَرَفَعَ الثُّلُثَ فَأَصَابَ كُلَّ امْرَأَةٍ أَلْفُ أَلْفٍ وَمِائَتَا أَلْفٍ فَجَمِيعُ مَالِهِ خَمْسُونَ أَلْفَ أَلْفٍ وَمِائَتَا أَلْفٍ

dari ‘Abdullah bin Az Zubair, maka dia berkata; “Ketika Az Zubair terlibat dalam perang Unta, dia memanggilku, maka aku berdiri di sampingnya. Dia berkata; “Wahai anakku, ketahuilah bahwa tidaklah ada yang terbunuh pada hari ini melainkan dia orang zhalim atau orang yang terzhalimi. Dan sungguh aku tidak melihat diriku akan terbunuh hari ini melainkan sebagai orang yang terzhalimi dan sungguh perkara yang paling menggelisahkanku adalah hutang yang ada padaku, menurut perhitunganmu, dari hutang itu masih akan ada yang menyisakan harta untuk kita?”. Dia melanjutkan; “Wahai anakku, untuk itu juallah harta kita lalu lunasilah hutangku”. Az Zubair berwasiat dengan sepertiga hartanya, dan sepertiga untuk anak-anaknya, yaitu Putra-putra ‘Abdullah bin Az Zubair. Dia berkata lagi; “Sepertiga dari sepertiga. Jika ada lebih dari harta kita setelah pelunasan hutang maka sepertiganya untuk anakmu”. Hisyam berkata; Dan sebagian dari anak-anak ‘Abdullah sepadan usianya dengan sebagian anak-anak Az Zubair yaitu Khubaib dan ‘Abbad. Saat itu Az Zubair mempunyai sembilan anak laki-laki dan sembilan anak perempuan”. ‘Abdullah berkata; Dia (Az Zubair) telah berwasiat kepadaku tentang hutang-hutangnya dan berkata; “Wahai anakku, jika kamu tidak mampu untuk membayar hutangku maka mintalah bantuan kepada majikanku”. ‘Abdullah berkata; “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang dia maksud hingga aku bertanya, wahai bapakku, siapakan majikan bapak?”. Dia berkata; “Allah”. ‘Abdullah berkata; “Demi Allah aku tidak menemukan sedikitpun kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah aku berdo’a; “YA MAULA ZUBAIR, IQDHI ‘ANHU DAINAHU” Wahai Tuannya Az Zubair, lunasilah hutangnya”. Maka Allah melunasinya. (Selanjutnya ‘Abdullah menuturkan); “Kemudian Az Zubair radliallahu ‘anhu terbunuh dan tidak meninggalkan satu dinar pun juga dirham kecuali dua bidang tanah yang salah satunya berupa hutan serta sebelas rumah di Madinah, dua rumah di Bashrah, satu rumah di Kufah dan satu rumah lagi di Mesir. ‘Abdullah berkata; “Hutang yang menjadi tanggungannya terjadi ketika ada seseorang yang datang kepadanya dengan membawa harta untuk dititipkan dan dijaganya, Az Zubair berkata; “Jangan, tapi jadikanlah sebagai pinjamanku (yang nanti akan aku bayar) karena aku khawatir akan hilang sedangkan aku tidak memiliki kekuasaan sedikitpun dan tidak juga sebagai pemungut hasil bumi (upeti) atau sesuatu kekuasaan lainnya melainkan selalu ikut berperang bersama Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, Abu Bakr, ‘Umar atau ‘Utsman radliallahu ‘anhum. ‘Abdullah bin Az Zubair berkata; “Kemudian aku menghitung hutang yang ditanggungnya dan ternyata aku dapatkan sebanyak dua juta dua Ratus dua puluh ribu“. ‘Urwah berkata; “Hakim bin Hizam menemui ‘Abdullah bin Az Zubair seraya berkata; “Wahai anak saudaraku, berapa banyak hutang saudaraku?”. ‘Abdullah merahasiakannya dan berkata; ‘Dua Ratus ribu”. Maka Hakim berkata; “Demi Allah, aku mengira harta kalian tidak akan cukup untuk melunasi hutang-hutang ini”. Maka ‘Abdullah berkata kepadanya; “Bagaimana pendapatmu seandainya harta yang ada dua juta dua Ratus ribu?”. Hakim berkata; “Aku mengira kalian tetap tidak akan sanggup melunasinya. Seandainya kalian tidak mampu mintalah bantuan kepadaku”. ‘Urwah berkata; “Dahulu Az Zubair membeli hutan itu seratus tujuh puluh ribu lalu ‘Abdullah menjualnya dengan harga satu juta enam Ratus ribu kemudian dia berdiri dan berkata; “Bagi siapa saja yang mempunyai hak (piutang) atas Az Zubair hendaklah dia menagih haknya kepada kami dari hutan ini”. Maka ‘Abdullah bin Ja’far datang kepadanya karena Az Zubair berhutang kepadanya sebanyak empat Ratus ribu seraya berkata kepada ‘Abdullah; “Kalau kalian mau, hutang itu aku bebasakan untuk kalian”. ‘Abdullah berkata; “Tidak”. ‘Abdullah bin Ja’far berkata lagi; “Atau kalau kalian mau kalian boleh lunasi di akhir saja (tunda) “. ‘Abdullah berkata; “Tidak”. ‘Abdullah bin Ja’far berkata lagi; ‘Kalau begitu, ukurlah bagian hakku”. ‘Abdullah berkata; “Hak kamu dari batas sini sampai sana”. (‘Urwah) berkata; “Maka ‘Abdullah menjual sebagian dari tanah hutan itu sehingga dapat melunasi hutang tersebut dan masih tersisa empat setengah bagian lalu dia menemui Mu’awiyah yang saat itu bersamanya ada ‘Amru bin ‘Utsman, Al Mundzir bin Az Zubair dan Ibnu Zam’ah. Mu’awiyah bertanya kepadanya; “Berapakah nilai hutan itu? ‘. ‘Abdullah menjawab; ‘Setiap bagian bernilai seratus ribu”. Mu’awiyah bertanya lagi; “Sisanya masih berapa?”. ‘Abdullah berkata; “Empat setengah bagian”. Al Mundzir bin Az Zubair berkata; “Aku mengambil bagianku senilai seratus ribu”. ‘Amru bin ‘Utsman berkata; “Aku mengambil bagianku senilai seratus ribu”. Dan berkata Ibnu ‘Zam’ah; “Aku juga mengambil bagianku seratus ribu”. Maka Mu’awiyah berkata; “Jadi berapa sisanya?”. ‘Abdullah berkata; “Satu setengah bagian”. Mu’awiyah berkata; “Aku mengambilnya dengan membayar seratus lima puluh ribu”. ‘Urwah berkata; “Maka ‘Abdullah bin Ja’far menjual bagiannya kepada Mu’awiyah dengan harga enam Ratus ribu”. Setelah (‘Abdullah) Ibnu Az Zubair menyelesaikan pelunasan hutang bapaknya, anak-anak Az Zubair (yang lain) berkata; “Bagilah hak warisan kami”. ‘Abdullah berkata; “Demi Allah, aku tidak akan membagikannya kepada kalian sebelum aku umumkan pada musim-musim hajji selama empat musim yaitu siapa yang mempunyai hak (piutang) atas Az Zubair hendaklah menemui kami agar kami melunasinya”. ‘Urwah berkata; “Demikianlah ‘Abdullah mengumumkan pada setiap musim hajji. Setelah berlalu empat musim dia membagikannya kepada mereka (anak-anak Az Zubair) “. ‘Urwah berkata; Adalah Az Zubair meninggalkan empat orang istri, maka ‘Abdullah menyisihkan sepertiga harta bapaknya sebagai wasiat bapaknya sehingga setiap istri Az Zubair mendapatkan satu juta dua Ratus ribu sedangkan harta keseluruhan milik Az Zubair berjumlah lima puluh juta dua Ratus ribu”. (H.R.Bukhari)

Lihatlah, Az-Zubair bin Al-’Awwam dalam kisah di atas diceritakan punya hutang sebanyak 2.200.000 Dinar. Di zaman sekarang 1 Dinar kira-kira setara dengan Rp. 2.439.500,-. Maknanya hutang Az-Zubair bin Al-’Awwam  jika dikurskan dengan uang sekarang nilainya kira-kira sebesar Rp. 5.366.900.000.000! apakah hutang bapak sebanyak itu? Saya kira tidak. Hutang Az-Zubair yang sedemikian besar saja ternyata bisa dilunasi ketika memang niatnya benar-benar karena Allah dan percaya kepada Allah. Jadi percayalah kepada Allah. 100% tanpa  keraguan sedikitpun, pasti Allah akan membantu.

Sebagai penutup, perbanyaklah doa yang yang dibaca oleh Nabi Yunus berikut ini dalam keadaan berbaring, duduk, maupun berjalan. Terutama sekali di waktu sujud dalam shalat. Doa ini adalah doa yang jika dibaca maka orang yang kesusahan akan dilepaskan dari kesusahannya. Doanya berbunyi;

لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنْ الظَّالِمِينَ

LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHAALIMIIN (Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya)

Riwayat doa ini ada dalam Sunan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi meriwayatkan;

سنن الترمذى (11/ 410)

عَنْ سَعْدٍ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْوَةُ ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنْ الظَّالِمِينَ فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ

dari Sa’d ia berkata; Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam bersabda: “Doa Dzun Nuun (Nabi Yunus) ketika ia berdoa dalam perut ikan paus adalah; LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHAALIMIIN (Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya). Sesungguhnya tidaklah seorang muslim berdoa dengannya dalam suatu masalah melainkan Allah kabulkan baginya.” (H.R.At-Tirmidzi)

Doa kami dari kejauhan; mudah-mudahan segera dilepaskan dari kesusahannya. Amin.

Wallahu a’lam.
Share this article :

Post a Comment